Monthly Archives: Oktober 2011

Tim mobil surya dari Jepang berhasil memenangkan kejuaraan balap mobil surya dunia

Mobil surya dari Tokai University Jepang, yang diberi nama Tokai Challenger, beberapa waktu yang lalu berhasil memenangkan kejuaraan World Solar Challenge di Australia, dimana mobil-mobil surya dari berbagai universitas di seluruh dunia harus menempuh sejauh 3000 kilometer dari Darwin ke Adelaide dalam empat hari. Kompetisi ini diikuti 37 tim dari universitas-universitas dari negara Australia, India, Kanada, Jerman, UK, Belgium, Italia, Iran, Taiwan, Singapura, Saudi Arabia, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Chili, dan Turki. 

Ide dari kompetisi ini yaitu mobil dengan kapasitas 1000 watt diharuskan menempuh perjalanan dari Darwin ke Adelaide dalam waktu 50 jam. Pada start awal mobil surya hanya diperbolehkan menggunakan 5 kWh dari energi yang tersimpan, sedangkan sisanya sisanya selama perjalanan energi berasal dari matahari atau energi kinetik yang dikonversi kembali oleh mobil tersebut.

Mobil surya dari Tokai University “Tokai Challenger” (Gambar : ens-newswire.com)

Tokai Challenger berjalan dengan kecepatan 90 km/h dengan kecepatan maksimum sampai 160 km/h. Modul surya yang digunakan adalah modul surya yang digunakan pada satelit-satelit luar angkasa untuk memaksimalkan efisiensi. Pada tahun 2009 Tokai Challenger juga memenagkan kejuaraan yang sama.

Mobil Surya Tokai Challenger (kiri) yang menempati tempat pertama, disusul Nuon dari Belanda (kanan) ditempat kedua. (Gambar :ens-newswire.com)

Berikut adalah spesifikasi dari mobil surya Tokai Challenger yang diambil dari wikipedia,

  • Panjang : 4980 mm
  • Lebar : 1640 mm
  • Tinggi : 930 mm
  • Berat : 160 kg (termasuk batere, tanpa pengemudi)
  • Track : 1300 mm
  • Wheel base (jarak roda depan-blkg) : 2100 mm
  • Kecepatan : 100 km/h (hanya dengan energi surya)
  • Kecepatan max. : 160 km/h
  • Modul surya : 2174 se surya, daya output=1.8 kW, Efisiensi 30% (SHARP)
  • MPPT : 24 Parallel Buck & Boost Circuits, Efficiency> 98 %, (Mishimaki)
  • Motor : 97 % Brushless DC Direct Drive Motor with 3 Phase Controller (Mitsuba)
  • Electro Magnetic Core : Iron Based Amorphous Core (Nippon Chemi-con)
  • Batere : 25 kg Lithium Ion Battery (Panasonic)
  • Body & Wheels : Carbon Fiber Reinforced Plastics (CFRP) (GH Craft)
  • Tire : 95/80-R16 Radial (Michelin)
  • Brake : Hydraulic Disc and Regeneration Brake
*Sumber : ens-newswire.com & wikipedia

 


 

Silevo meluncurkan teknologi baru sel surya silikon hibrid yang kompetitif dengan sel surya konvensional

Silevo, perusahaan produsen modul fotovoltaik yang berlokasi di Amerika, baru-baru ini meluncurkan modul surya yang diklaim mempunyai rasio performansi terhadap biaya terbaik di industri saat ini, dengan mengoptimalkan penggunaan material silikon dengan terobosan teknologi baru.

Teknologi Silevo yang disebut Triex, memaksimalkan fotovoltaik berbasis silikon dengan teknologi hibrid nya mengkombinasikan tiga material yang berbeda yaitu substrat kristal silikon tipe-n, lapisan tipis sebagai passivation layer, dan lapisan semikonduktor tunneling oxide, semua dalam satu modul.Kombinasi dari lapisan tunneling oxide yang umum digunakan di industri semikonduktor dan passivation layer, menghasilkan divais dengan trap density pada permukaan yang sangat rendah.  Hal tersebut merupakan kunci dari kualitas junction yang baik dan juga tegangan open-circuit (Voc) yang tinggi dari modul surya ini.

Dengan terpobosan baru melalui struktur “tunneling junction”nya, ketiga material tersebut secara bersamaan menghasilkan modul Triex dengan efisiensi yang tinggi dan harga yang kompetitif, sehingga menawarkan modul dengan harga terhadap performansi yang terbaik di industri saat ini, seperti diklaim oleh Silivo.

 

Struktur sel surya hibrid (Triex) dari Silevo. (Gambar : Hak Cipta Silevo)

 

Teknologi Triex ini juga menghilangkan penggunaan pasta perak yang umunya digunakan sebagai elektroda pada sel surya silikon konvensional. Perak merupakan material termahal kedua pada modul surya konvensional setelah material silikonnya sendiri. Sbegai pengganti perak, Silevo menggunakan metal tembaga dengan resistansi rendah. Penggunaan tembaga ini menghindari isu naiknya harga perak dipasaran, disamping memaksimalkan keuntungan tembaga dalam hal harganya yang lebih murah sehingga menurunkan total biaya produksi.

Sel Surya Silevo yang menggunakan tembaga sebagai kontak sebagai pengganti perak. (Gambar : Silivo)

 

Sel surya tersebut mempunyai efisiensi 20-21%, dengan potensi sampai 24%, yang telah divalidasi oleh Sandia National Lab. Harga produksinya pun kompetitif dengan sel surya kristal silikon yang memimpin dipasaran saat ini milik SunPower dengan efisiensi 22%. Ditargetkan bahwa pada tahun 2014 harga produksi bisa kurang dari $0.70/Wp.

 

*Sumber : Silevo&gigaom

*Definisi dari istilah-istilah teknis diartikel ini bisa ditemukan di menu “Daftar istilah-istilah”

 

Sel surya : Struktur & Cara kerja

Sel surya atau juga sering disebut fotovoltaik adalah divais yang mampu mengkonversi langsung cahaya matahari menjadi listrik. Sel surya bisa disebut sebagai pemeran utama untuk memaksimalkan potensi sangat besar energi cahaya matahari yang sampai kebumi, walaupun selain dipergunakan untuk menghasilkan listrik, energi dari matahari juga bisa dimaksimalkan energi panasnya melalui sistem solar thermal.

Sel surya dapat dianalogikan sebagai divais dengan dua terminal atau sambungan, dimana saat kondisi gelap atau tidak cukup cahaya berfungsi seperti dioda, dan  saat disinari dengan cahaya matahari dapat menghasilkan tegangan. Ketika disinari, umumnya satu sel surya komersial menghasilkan tegangan dc sebesar 0,5 sampai 1 volt, dan arus short-circuit dalam skala  milliampere per cm2. Besar tegangan dan arus ini tidak cukup untuk berbagai aplikasi, sehingga umumnya sejumlah sel surya disusun secara seri membentuk modul surya. Satu modul surya biasanya terdiri dari 28-36 sel surya, dan total menghasilkan tegangan dc sebesar 12 V dalam kondisi penyinaran standar (Air Mass 1.5). Modul surya tersebut bisa digabungkan secara paralel atau seri untuk memperbesar total tegangan dan arus outputnya sesuai dengan daya yang dibutuhkan untuk aplikasi tertentu. Gambar dibawah menunjukan ilustrasi dari modul surya.

Modul surya biasanya terdiri dari 28-36 sel surya yang dirangkai seri untuk memperbesar total daya output. (Gambar :”The Physics of Solar Cell”, Jenny Nelson)

Struktur Sel Surya

Sesuai dengan perkembangan sains&teknologi, jenis-jenis teknologi sel surya pun berkembang dengan berbagai inovasi. Ada yang disebut sel surya generasi satu, dua, tiga dan empat, dengan struktur atau bagian-bagian penyusun sel yang berbeda pula (Jenis-jenis teknologi surya akan dibahas di tulisan “Sel Surya : Jenis-jenis teknologi”). Dalam tulisan ini akan dibahas struktur dan cara kerja dari sel surya yang umum berada dipasaran saat ini yaitu sel surya berbasis material silikon yang juga secara umum mencakup struktur dan cara kerja sel surya generasi pertama (sel surya silikon) dan kedua (thin film/lapisan tipis).

Struktur dari sel surya komersial yang menggunakan material silikon sebagai semikonduktor. (Gambar:HowStuffWorks)

Gambar diatas  menunjukan ilustrasi sel surya dan juga bagian-bagiannya. Secara umum terdiri dari :

1. Substrat/Metal backing

Substrat adalah material yang menopang seluruh komponen sel surya. Material substrat juga harus mempunyai konduktifitas listrik yang baik karena juga berfungsi sebagai kontak terminal positif sel surya, sehinga umumnya digunakan material metal atau logam seperti aluminium atau molybdenum. Untuk  sel surya dye-sensitized  (DSSC) dan sel surya organik, substrat juga berfungsi sebagai tempat masuknya cahaya sehingga material yang digunakan yaitu material yang konduktif tapi juga transparan sepertii ndium tin oxide (ITO) dan flourine doped tin oxide (FTO).

2. Material semikonduktor

Material semikonduktor merupakan bagian inti dari sel surya yang biasanya mempunyai tebal sampai beberapa ratus mikrometer untuk sel surya generasi pertama (silikon), dan 1-3 mikrometer untuk sel surya lapisan tipis. Material semikonduktor inilah yang berfungsi menyerap cahaya dari sinar matahari. Untuk kasus gambar diatas, semikonduktor yang digunakan adalah material silikon, yang umum diaplikasikan di industri elektronik. Sedangkan untuk sel surya lapisan tipis, material semikonduktor yang umum digunakan dan telah masuk pasaran yaitu contohnya material Cu(In,Ga)(S,Se)(CIGS), CdTe (kadmium telluride), dan amorphous silikon, disamping material-material semikonduktor potensial lain yang dalam sedang dalam penelitian intensif seperti Cu2ZnSn(S,Se)(CZTS) dan Cu2O (copper oxide).

Bagian semikonduktor tersebut terdiri dari junction atau gabungan dari dua material semikonduktor yaitu semikonduktor tipe-p (material-material yang disebutkan diatas) dan  tipe-n (silikon tipe-n, CdS,dll)  yang membentuk p-n junction. P-n junction ini menjadi kunci dari prinsip kerja sel surya. Pengertian semikonduktor tipe-p, tipe-n, dan juga prinsip p-n junction dan sel  surya akan dibahas dibagian “cara kerja sel surya”.

3. Kontak metal / contact grid

Selain substrat sebagai kontak positif, diatas sebagian material semikonduktor biasanya dilapiskan material metal atau material konduktif transparan sebagai kontak negatif.

4.Lapisan antireflektif

Refleksi cahaya harus diminimalisir agar mengoptimalkan cahaya yang terserap oleh semikonduktor. Oleh karena itu biasanya sel surya dilapisi oleh lapisan anti-refleksi. Material anti-refleksi ini adalah lapisan tipis material dengan besar indeks refraktif optik antara semikonduktor dan udara yang menyebabkan cahaya dibelokkan ke arah semikonduktor sehingga meminimumkan cahaya yang dipantulkan kembali.

5.Enkapsulasi / cover glass

Bagian ini berfungsi sebagai enkapsulasi untuk melindungi modul surya dari hujan atau kotoran.

Cara kerja sel surya

Sel surya konvensional bekerja menggunakan prinsip p-n junction, yaitu junction antara semikonduktor tipe-p dan tipe-n. Semikonduktor ini terdiri dari ikatan-ikatan atom yang dimana terdapat elektron sebagai penyusun dasar.  Semikonduktor tipe-n mempunyai kelebihan elektron (muatan negatif)  sedangkan semikonduktor tipe-p mempunyai kelebihan hole (muatan positif) dalam struktur atomnya.  Kondisi kelebihan elektron dan hole tersebut bisa terjadi dengan mendoping material dengan atom dopant. Sebagai contoh untuk mendapatkan material silikon tipe-p, silikon didoping oleh atom boron, sedangkan untuk mendapatkan material silikon tipe-n, silikon didoping oleh atom fosfor. Ilustrasi dibawah menggambarkan junction semikonduktor tipe-p dan tipe-n.

Junction antara semikonduktor tipe-p (kelebihan hole) dan tipe-n (kelebihan elektron). (Gambar : eere.energy.gov)

 Peran dari p-n junction ini adalah untuk membentuk medan listrik sehingga elektron (dan hole) bisa diekstrak oleh material kontak untuk menghasilkan listrik. Ketika semikonduktor tipe-p dan tipe-n terkontak, maka kelebihan elektron akan bergerak dari semikonduktor tipe-n ke tipe-p sehingga membentuk kutub positif pada semikonduktor tipe-n, dan sebaliknya kutub negatif pada  semikonduktor tipe-p. Akibat dari aliran elektron dan hole ini maka terbentuk medan listrik yang mana  ketika cahaya matahari mengenai susuna p-n junction ini maka akan mendorong elektron bergerak dari semikonduktor menuju kontak negatif, yang selanjutnya dimanfaatkan sebagai listrik, dan sebaliknya hole bergerak menuju kontak positif menunggu elektron datang, seperti diilustrasikan pada gambar dibawah.

Ilustrasi cara kerja sel surya dengan prinsip p-n junction. (Gambar : sun-nrg.org)


2012 Jakarta bangun PLTS

Sindonews.com – Guna menghemat pemakaian energi bahan bakar fosil, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai memanfaatkan energi baru, yakni tenaga surya.

Melalui Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), energi baru ini telah mengalirkan listrik ke rumah-rumah warga dan perkantoran di Kepulauan Seribu, serta 39 titik penerangan jalan umum (PJU) di wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Timur, dan Kepulauan Seribu.

“Dengan bantuan dana APBN, kami telah membangun pemanfaatan energi baru terbarukan tenaga surya atau PLTS untuk rumah dan kantor Kepulauan Seribu,” kata Kepala Dinas Perindustrian dan Energi DKI Jakarta, I Putu Ngurah Indiana di Balai Kota, Jakarta, Rabu, (12/10/2011).

Dijelaskannya, ada sekitar 10 PLTS yang didirikan di empat pulau di Kepulauan Seribu, dengan total daya listrik mencapai 43 ribu watt. Di antaranya, di Pulau Karya ada tujuh PLTS, di Pulau Rambut ada satu PLTS, di Pulau Onrust satu PLTS, dan di Pulau Sabira satu PLTS.

Selain itu, keberadaan PLTS juga mampu mengalirkan listrik ke PJU di Jakarta. Dinas, lanjutnya, bahkan berencana menambah titik lokasi PJU yang dialiri listrik dari tenaga surya di Kepulauan Seribu, yaitu sebanyak 53 titik PJU.

Kemudian di tahun 2012, Putu menjelaskan telah merencanakan proyek percontohan pembangunan PLTS dengan sistem terhubung (on gried) dengan jaringan PT PLN di salah satu bangunan yang merupakan aset Pemprov DKI.

“Semuanya ini sedang kita persiapkan. Kami harap dapat dilaksanakan pada tahun depan. Sehingga, daya kapasitas listrik bagi kota Jakarta bertambah dengan adanya PLTS tersebut,” ujarnya.

Sekadar diketahui, saat ini peningkatan kebutuhan listrik telah menjadi permasalahan yang mendesak para peneliti Indonesia. Energi listrik yang mampu dipasok oleh PLN Indonesia baru 1500-2000 MW. Pemadaman listrik bergilir masih sering dilakukan dan proyek listrik 10.000 MW masih belum tuntas sementara tuntutan atas pemenuhan listrik melonjak tiap tahun.

Sumber energi alternatif yang diharapkan tidak hanya bersifat renewable dan mudah dikonversi menjadi energi listrik, tetapi juga ramah lingkungan. Beberapa kalangan menilai bahwa energi yang paling sesuai adalah energi surya.

Sementara itu potensi tenaga surya Indonesia secara umum ada pada tingkat satisfy (cukup). Hal ini tentunya dapat menjadi salah satu patokan kita dalam menyusun perencanaan energi di masa depan. Selain itu potensi ini setidaknya dapat menjadi penyejuk di tengah panasnya isu krisis listrik yang selama ini menghantui Indonesia.

Untuk menuju pada tingkat kemampuan yang baik dalam hal supply tenaga listrik dari energi surya kita masih perlu berjuang. Teknologi konversi tenaga surya menjadi tenaga listrik bukanlah teknologi yang sederhana. Teknologi ini memerlukan berbagai komponen yang terkait dengan perhitungan dan pemikiran yang baik.

Editor: Dadan Muhammad Ramdan
Laporan: Dwi Afrilianti (okezone)

*Sumber : Sindonews

Melihat Perkembangan Industri Fotovoltaik Dunia dari Event PV EXPO 2011 di Tokyo, Jepang

Pada tanggal 2 – 4 Maret 2011, saya berkesempatan untuk mengunjungi event  PV EXPO 2011 yang diadakan di Tokyo Big Sight, Jepang. Walaupun sudah beberapa bulan yang lalu, tapi informasi yang ada saya pikir masih relevan dengan perkembangan fotovoltaik akhir-akhir ini. Laporan kunjungan ini akan mengulas beberapa perkembangan penting fotovoltaik yang saya dapat dari event ini.

PV EXPO merupakan acara tahunan di Jepang dimana perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang fotovoltaik dari berbagai negara, baik perusahaan yang memproduksi modul/sel fotovoltaik maupun komponen-komponen atau alat-alat karakterisasi fotovoltaik berkumpul dan memamerkan produk dan teknologi terbaru mereka masing-masing. Disamping event PV EXPO 2011 ini, di tempat yang sama berlangsung juga event-event lain berkaitan dengan energi terbarukan secara paralel seperti FC EXPO 2011, BATTERY JAPAN, PV SYSTEM EXPO, Processing Technology Expo, Eco House & Eco Building Expo, dan Int’l SMART GRID EXPO.

Event-event dalam rangkaian acara Japan Renewable Energy Week 2011

 

Pemotongan pita pada acara pembukaan PV EXPO 2011 oleh pimpinan perusahaan-perusahaan fotovoltaik.

 

 Suasana keramaian acara PV EXPO 2011 pada hari pertama

Perusahaan-perusahaan yang berpartisipasi umumnya berasal dari Asia dengan didominasi oleh perusahaan dari Jepang sendiri dan juga beberapa perusahaan dari China, Taiwan, Korea, India, Australia, Swiss, Jerman, Kanada, dan Amerika Serikat. Menarik melihat perkembangan industri fotovoltaik sekarang yang dahulu hanya didominasi oleh perusahaan-perusahaan Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat, namun sekarang perusahaan-perusahaan dari China dan Taiwan juga mulai menjadi pemain penting di industri fotovoltaik. Sebagai informasi sepuluh perusahaan produsen sel/modul fotovoltaik terbesar didunia berdasarkan jumlah produksinya pada tahun 2009 adalah  First Solar/Amerika Serikat (1.011 MW), Suntech Power/Cina (704 MW), Sharp/Jepang (595 MW), Q-Cells/Jerman (537 MW), Yingli Green Energy/Cina (525 MW), JA Solar/Cina (509 MW), Kyosera/Jepang (400 MW), Trina Solar/Cina (399 MW), Sunpower/Amerika Serikat (398 MW), dan Gintech/Taiwan (368 MW) [Razykov, Solar Energy 2011]. Dengan adanya 5 perusahaan dari China dan Taiwan yang berada pada top 10 produsen fotovoltaik dunia menunjukan bahwa pasar industry fotovoltaik di kedua negara tersebut berjalan dengan pesat.

Produk-produk yang dipamerkan beragam mulai dari modul fotovoltaik, komponen-komponen penunjang teknologi fotovoltaik, sampai alat pengecek kualitas material fotovoltaik. Modul fotovoltaik yang dipamerkan masih didominasi oleh fotovoltaik berbasis material kristal silikon, yang saat ini mendominasi pasar global fotovoltaik sebesar lebih dari 80%. Perusahaan besar seperti Sharp, Kyocera, Toshiba, dan Suntech Power tetap mengusung fotovoltaik berbasis kristal silicon sebagai produk andalannya dengan berbagai inovasi teknologi masing-masing. Saat ini efisiensi konversi energi surya ke listrik tertinggi dipasaran untuk modul fotovoltaik jenis ini dipegang oleh SunPower dengan efisiensi 24.2%, walaupun perusahaan ini tidak ikut berpartisipasi pada event ini. Untuk jenis teknologi fotovoltaik lapisan tipis (thin film), yang disebut sebagai teknologi fotovoltaik generasi kedua setelah fotovoltaik kristal silikon, perusahaan Solar Frontier dari Jepang merupakan salah satu perusahaan yang mengusung teknologi ini dengan material CIS (copper, indium, selenium)-nya. Sayang sekali perusahaan First Solar sebagai produsen fotovoltaik lapisan tipis terbesar di dunia dengan material CdTe (Cadmiu Telluride)-nya tidak ikut berpartisipasi dalam event ini. Sedangkan untuk jenis fotovoltaik generasi ketiga seperti fotovoltaik organik dan dye-sensitized, perusahaan-perusahaan seperti Mitsubishi Chemical dan Dyesol merupakan perusahaan yang mengusung teknologi ini, walaupun masih belum ketahap skala luas.

Sistem Real-time Monitoring Fotovoltaik.

 

Salah satu Teknologi Fotovoltaik dari Sharp

Perkembangan Market Fotovoltaik non-silikon

Menarik juga untuk melihat perkembangan teknologi dan pasar fotovoltaik non-silikon terutama fotovoltaik jenis lapisan tipis (thin film) di event ini. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan untuk nilai Watt/$ yang semakin murah untuk fotovoltaik agar bisa bersaing dengan harga energi yang berasal dari bahan bakar fosil (batu bara, minyak bumi, dan gas alam), fotovoltaik lapisan tipis menjadi pilihan alternatif di samping silikon. Sesuai dengan namanya, fotovoltaik lapisan tipis menggunakan material penyerap cahaya yang memungkinkan tebal lapisan material tersebut kurang dari beberapa mikrometer, dibanding dengan fotovoltaik jenis kristal silicon yang membutuhkan ketebalan silikon sampai beberapa ratus mikron. Jenis materialnya pun beragam seperti CdTe (Cadmium Telluride), CIGS (Copper Indium Gallium Selenium/Sulfur), dan amorphous silicon. Disamping itu, karena material fotovoltaik lapisan tipis tidak membutuhkan kemurnian yang tinggi seperti fotovoltaik kristal silicon yang membutuhkan kemurnian silicon sampai 99.99%, teknologi pembuatan materialnya pun beragam mulai dari metoda fisik seprti Physical Vapor Deposition (PVD) dan sputtering sampai metoda kimia seperti screen printing dan elektrodeposisi.

Pada tahun 2009 sebanyak 18% dari total produksi fotovoltaik didunia berasal dari fotovoltaik lapisan tipis, meningkat dari 12.5% pada tahun 2008 (Solarbuzz). Pada tahun 2010 dan tahun-tahun berikutnya disinyalir pasar fotovoltaik lapisan tipis akan terus berkembang dengan munculnya berbagai inovasi dan juga kepercayaan konsumen terhadap teknologi ini. Hal ini juga terlihat di event ini dengan berkembangnya perusahaan-perusahaan yang mengkhususkan produknya dalam fotovotaik lapisan tipis, seperti perusahaan Solar Frontier. Pada event ini Solar Frontier, yang merupakan anak perusahaan Showa Shell, mendapat perhatian yang khusus dari pengunjung karena merupakan perusahaan yang menggembor-gemborkan kespesialisasiannya dalam jenis fotovoltaik lapisan tipis yang menggunakan material non-silikon, terutama berbasis material CIS (copper, indium, selenium). Efisiensi yang telah dicapai dengan jenis teknologi ini sebesar 12.2%. Walaupun efisiensinya masih dibawah fotovoltaik kristal silicon, namun keunggulan yang diusung adalah lebih sedikitnya Energy Payback Time (EPT) yang didefinisikan sebagai waktu yang diperlukan modul fotovoltaik untuk menghasilkan jumlah energi yang sama dengan energi yang diperlukan untuk memproduksi modul fotovoltaik tersebut. Solar Frontier mengklaim bahwa EPT dari modul CIS mereka adalah kurang dari 1 tahun dibanding dengan fotovoltaik kristal silicon dengan EPT sebesar 1.5 tahun.

Keunggulan modul fotovoltaik CIS dibanding teknologi-teknologi fotovoltaik lain. (Sumber : Solar Frontier)

 

Energy Payback Time (EPT) dari modul fotovoltaik kristal silicon, amorphous silicon, dan CIS. [Sumber : New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO)]

Pada tahun 2011 ini juga salah satu pabriknya di kota Miyazaki, Jepang, yang mempunyai kapasitas produksi sebesar 900 MW, direncanakan akan mulai beroperasi dan apabila telah beroperasi akan menjadi fasilitas produksi fotovoltaik terbesar di dunia. Dengan beroperasinya fasilitas produksi fotovoltaik yang mendekati Gigawatt ini, pada tahun 2011 prosentase total produksi fotovoltaik yang berasal dari lapisan tipis dipastikan akan meningkat dengan pesat dan memungkinkan harga Watt/$ yang semakin murah.

 

Perkembangan perusahaan-perusahaan fotovoltaik China dan Taiwan

Tidak lengkap apabila tidak melihat perkembangan industri fotovoltaik di China, negara dengan ekonomi terbesar kedua didunia, dan juga Negara tetangganya Taiwan. Event PV EXPO 2011 ini ditandai dengan semakin banyaknya jumlah perusahaan dari China dan Taiwan yang berpartisipasi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, menandakan perkembangan pesat dari industri fotovoltaik dikedua negara tersebut. Bahkan di event ini disediakan satu kawasan lokasi khusus untuk perusahaan-perusahaan dari China dan Taiwan untuk memamerkan produk-produk mereka. Perusahaan-perusahaan pemain utama pasar fotovoltaik dunia seperti Yingli Green Energy, Suntech Power, JA Solar, Trina Solar, dan Gintech ikut berpartisipasi. Sebagai informasi, 49% dari total produksi fotovoltaik didunia pada tahun 2009 berasal dari China dan Taiwan (Solarbuzz). Melihat perkembangan yang pesat dari pasar fotovoltaik China dan Taiwan ini, bukan tidak mungkin China dan Taiwan akan semakin memantapkan posisinya sebagai pemain dominan dalam industri fotovoltaik dunia di beberapa tahun mendatang.

Booth dari Yingli Solar, salah satu perusahaan fotovoltaik China.

 

*Tulisan ini adalah versi belum teredit dari artikel dengan judul “Photovoltaic Kian Tangguh” yang terdapat di Majalah Energi edisi 7- Mei 2011.

 

 

 

Saudi Aramco dan Showa Shell berencana bekerja sama memproduksi sel surya di Saudi Arabia

Chief eksekutif Saudi Aramco, Khalid Al-Falih, bertujuan untuk memulai produksi sel surya di Saudi Arabia dalam dua atau tiga tahun ini melalui kerjasama dengan produsel sel surya thin film (lapisan tipis) dari Jepang Showa Shell Sekiyu KK, seperti dilaporkan koran bisnis jepang Nikkei.

Jika Aramco berrhasil memperkenalkan teknologi milik Showa Shell ke Saudi Arabia, hal tersebut dapat berkontribusi besar terhadap sasaran utama negara Saudi Arabia dalam diversifikasi industri, ujar beliau seperti dikutip di koran tersebut dalam suatu wawancara.

Saudi Arabia, salah satu eksporter terbesar minyak bumi didunia, berharap untuk mengurangi penggunaan dari energi fosil, yang lebih diutamakan untuk diekspor, dengan membangun pabrik nuklir dan energi terbarukan.

Pada 2009, Aramco dan Showa Shell menandatangani perjanjian untuk membuat fasilitas pembangkit surya berskala kecil , dan Showa Shell dan Saudi Electricity Co. (SEC) tahun ini membuka pembangkit energi surya 500 kilowatt (kW) di Saudi Arabia.

Pembangkit energi surya pertama di Saudi Arabia di daerah Farasan dibuka tahun ini dengan kapasitas sekitar 500 kW. (Gambar : arabnews.com)

Spesialisasi Showa Shell adalah dalam sel surya terbuat dari copper (tembaga), indium, dan selenium. Material ini tidak seefisien sel surya yang terbuat dari silikon dalam mengkonversi cahaya menjadi listrik namun lebih murah, poin yang akan menjadi kunci di masa depan.

 

*Sumber : Reuters dan arabnews.com

 

1.000 PLTS Untuk 1.000 Pulau Di Indonesia

JAKARTA – PT PLN (Persero) berencana untuk membangun 1.000 Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk Pulau-Pulau terisolasi di Indonesia. Pembangunan PLTS-PLTS tersebut memakan waktu selama 5 tahun dan akan di mulai tahun depan (2012), demikian diutarakan Direktur Utama PT PLN (Persero) Dahlan Iskan disela-sela Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI, Kamis, (29/9/2011).

“PLN merencanakan akan membangun 1.000 PLTS dalam 3 tahun kedepan yang akan di mulai tahun depan…PLTS-PLTS tersebut akan di pasang pada 1.000 pulau,” tutur Dahlan.

Untuk merealisasikan rencanakan tersebut, PT PLN (Persero) telah membentuk Tim yang khusus dan jika pengembangan ini berhasil, lanjutnya, maka Indonesia dapat masuk ke dalam peta pengguna energi terbarukan dunia.

PT PLN (Persero) saat ini sedang menyelesaikan 100 PLTS, dimana 36 PLTS (8 MW) diantaranya sedang proses tender dan akan diselesaikan tahun ini dan sisanya sedang proses finalisasi tender. “Tahun ini separuh jadi ..selebihnya itu mungkin telatnya sedikit aja ..karena di proses tender saja, kalau proses pengerjaanya itu hanya hitungan bulan,” ujar Dahlan.

Mengenai biaya produksinya Dahlan manyatakan hampir sama dengan BBM dan nilai investasi pembangunan 100 PLTS tersebut sekitar 900 milyar. (SF)

 

*Sumber : http://www.esdm.go.id

Pengenalan Energi Surya

Matahari adalah salah satu komponen utama penggerak kehidupan. Rasanya sulit membayangkan kelangsungan hidup makhluk hidup  tanpa adanya matahari. Siklus alam seperti angin, air, dan juga siklus dalam tumbuhan yaitu fotosintesis, kesemuanya melibatkan peran matahari, baik akibat dari posisi matahari terhadap bumi, maupun akibat radiasi cahaya yang sampai ke bumi. Studi juga menunjukkan bahwa energi matahari yang sampai kebumi dalam satu jam sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan energi seluruh manusia dipermukaan bumi dalam satu tahun! Alasan yang cukup untuk memacu pemaksimalkan energi matahari sebagai energi terbarukan terutama dengan pengkonversian menjadi listrik oleh divais sel/panel surya.

Konversi energi cahaya matahari menjadi listrik oleh sel/panel surya adalah alternatif untuk memaksimalkan potensi energi surya untuk sumber energi yang berkelanjutan. (Gambar : ecofriend)

Matahari memancarkan radiasi cahaya dengan berbagai panjang gelombang, mulai dari ultraviolet, cahaya tampak, sampai infrared dari spektrum elektromagnetik. Radiasi ini timbul sebagai akibat dari permukaan matahari yang mempunyai temperatur sekitar 5800 K (~5500 C) sehingga spektrum yang dipancarkan matahari sama dengan spektrum dari blackbody pada temperatur yang sama. Blackbody ini didefinisikan sebagai objek yang menyerap secara sempurna semua radiasi elektromagnetik, dan juga mampu memancarkan radiasi dengan distribusi energi bergantung kepada temperaturnya.

Perbandingan Spektra Energi radiasi sebagai fungsi panjang gelombang dari matahari untuk kondisi  tepat diatas atmosfer bumi, blackbody, dan pada permukaan bumi.  (Gambar : wikipedia)

Gambar diatas menunjukan besar energi radiasi yang diterima dari matahari per satuan area per satuan waktu sebagai fungsi dari panjang gelombang.  Pada permukaan matahari energi radiasi yang dipancarkan yaitu sebesar 62 MW/m2, dan diatas atmosfer bumi radiasinya berkurang menjadi total  sebesar 1353 W/m2. Untuk radiasi blackbody, semakin tinggi temperatur objek blackbody tersebut maka semakin besar juga energi radiasinya. Blackbody pada temperatur rata-rata bumi yaitu 300 K, paling kuat memancarkan pada gelombang infrared dan radiasinya tidak dapat terlihat oleh mata. Untuk matahari, dengan temperatur skitar 5800 K, radiasinya paling kuat berada pada gelombang cahaya tampak (visible) dengan panjang gelombang sekitar 300 – 800 nanometer (nm), seperti terlihat pada gambar diatas.

Efek Awan dan Atmosfer bumi terhadap energi radiasi yang sampai ke permukaan bumi. Sekitar 50% dari energi radiasi matahari yang tiba di atmosfer bumi, sampai ke permukaan bumi. (Gambar : Wikipedia dan NASA)

Radiasi cahaya matahari yang sampai dipermukaan atmosfer bumi tidak semuanya diterima oleh permukaan bumi karena mengalami proses pengamburan oleh awan atau juga partikel-partikel lain yang ada didalam atmosfer bumi.  Cahaya  dengan panjang gelombang  kurang dari 300 nm dan cahaya tampak  difilter oleh atom dan molekul oksigen (O2), ozon (O3), dan nitrogen (N2). Sedangkan air (H2O) dan karbon dioksida (CO2) umumnya menyerap cahaya pada area gelombang infrared yang merupakan alasan penurunan secara drastis pada spektra radiasi di panjang gelombang 900, 1100, 1400, 1800, 1900 dan 2600 nm.

Berbagai kondisi Air Mass yang )bergantung pada sudut elevasi matahari. Umumnya Air Mass (AM 1.5) digunakan sebagai untuk standar pengukuran performansi sel dan panel surya. (Gambar : LaserFocusWorld)

Pengaruh dari atmosfer terhadap spektrum radiasi matahari direpresentasikan dengan faktor “Air Mass” (AM), yang didefinisikan sebagai jarak tempuh cahaya matahari dalam atmosfer bumi sebagai fungsi dari sudut elevasi matahari terhadap permukaan bumi. Gambar diatas menggambarkan berbagai kondisi air mass sesuai sudut elevasi matahari.  Air Mass 0 (AM0) menggambarkan kondisi cahaya matahari tepat diluar atmosfer bumi, sehingga relevan untuk panel surya yang digunakan pada satelit-satelit bumi.  Untuk AM1, jarak tempuh cahaya matahari sama dengan tebal dari atmosfer ketika kondisi matahari tepat berada diatas. Namun apabila tidak tepat berada diatas, jarak tempuhnya semakin bertambah  sesuai fungsi inverse dari cosinus sudut elevasi matahari. Sebagai contoh, ketika sudut elevasinya 60 maka jarak tempuhnya menjadi dua kali lipat (AM2). Umumnya AM1.5 dengan sudut elevasi 48 digunakan sebagai standar untuk pengukuran sistem panel surya. Besar energi untuk AM1.5 yaitu 1000 W/m2, sedangkan untuk AM0 yaitu 1360 W/m2 yang biasa disebut solar constant.

Besar aktual radiasi cahaya matahari yang diterima dipermukaan bumi bervariasi tiap area, dan sangat bergantung kepada musim dan variasi dari posisi matahari dan orientasi bumi. Gambar dibawah menunjukkan besar rata-rata energi radiasi cahaya dalam kWh persatuan area perhari diberbagai belahan bumi, untuk kondisi langit cerah dan radiasi tepat horizontal diatas permukaan bumi. Dari gambar  tersebut jelas terlihat potensi penggunaan energi surya dari negara-negara yang terletak dekat dengan ekuator termasuk Indonesia. Selain itu, radiasi cahaya matahari di Indonesia pun relatif konstan pertahunnya dikarenakan hanya terdapat dua musim, dibandingkan negara-negara dengan empat musim dimana pada musim-musim tertentu energi radiasi yang diterima akan berkurang.

Energi radiasi matahari yang diterima diberbagai belahan bumi dalam satuan kWh/m2/hari untuk kondisi langit cerah dan cahaya matahari tepat horizontal diatas permukaan bumi. (Gambar : NASA)

*Sumber :

1. Jenny Nelson, “Physics of Solar Cell”, Imperial College Press, 2003.

2. Paul A. Lynn, “Electricity from Sunlight”, Wiley, 2010.

3. Wikipedia

4. NASA website

5. Laser Focus World website

*Definisi dari istilah-istilah teknis diartikel ini bisa ditemukan di menu “Daftar istilah-istilah”.

Peneliti menggunakan nanotube karbon sebagai konduktor transparan untuk sel surya yang fleksibel dan lebih murah

Peneliti dari Northwestern University berhasil mengembangkan material nanotube karbon (carbon nanotube) transparan, yang dapat diaplikasikan sebagai konduktor transparan pada sistem sel surya. Material baru ini dapat memberikan alternatif terhadap teknologi yang ada sekarang, yang menggunakan material yang tidak fleksibel secara mekanik dan bergantung kepada bahan mineral yang relatif jarang.

Karena melimpahnya material karbon dibumi, carbon nanotube mempunyai potensi untuk meningkatkan keberlanjutan jangka panjang penggunaan energi surya dengan harganya yang relatif murah, sejalan dengan penggunaan teknologi sel surya yang semakin meningkat. Selain itu, fleksibilitas dari material tersebut memungkinkan pengaplikasian pada bahan pakaian, yang menyediakan suplai energi secara portable untuk barang-barang elektronik pribadi maupun militer.

Penelitian ini dipimpin oleh Mark C. Hersam, professor material science dan engineering dan professor kimia, yang berkolaborasi dengan professor-professor lain di Northwestern University., dan dipublish di edisi terbaru jurnal Advanced Energy Materials, jurnal baru yang menspesialisasikan dalam sains mengenai material yang dipakai dalam aplikasi energi.

Cover edisi terbaru jurnal Advanced Energy Materials yang memuat berbagai variasi carbon nanotube dalam larutan untuk aplikasi sebagai konduktor transparan. (Gambar : jurnal Advanced Energy Materials) 

Sel surya terdiri dari beberapa lapisan, termasuk bagian konduktor transparan yang memungkinkan cahaya masuk ke sel dan juga melewatkan arus listrik. Agar kedua fungsi tersebut bisa berjalan, material konduktor harus konduktif terhadap arus listrik dan juga transparan. Saat ini hanya sedikit material yang mempunyai kedua fungsi tersebut.

Saat ini, indium tin oxide (ITO) atau oksida indium timah adalah material dominan untuk aplikasi konduktor transparan, namun ITO mempunyai dua potensi hambatan. Indium tin oxide secara mekanik tidak elastis, yang menjadi hambatan untuk aplikasi yang membutuhkan fleksibilitas mekanik. Selain itu, indium tin oxide mengandung elemen indium yang relatif jarang, sehingga dengan meningkatnya penggunaan sel surya skala besar akan mendorong kenaikan juga harga indium.

“Jika teknologi sel surya akan benar-benar meluas, seperti yang diharapkan semua orang, kita akan menghadapi krisis dalam suplai indium”, ungkap Hersam. “Ada keinginan besar untuk mencari material, khusunya elemen yang melimpah dialam seperti karbon, yang dapat mengganti peran indium di teknologi sel surya.”

Tim peneliti tersebut berhasil membuat material alternatif dari indium tin oxide menggunakan single-walled carbon nanotubes, ikatan karbon berbentuk silinder berongga yang mempunyai diameter hanya satu nanometer. Karateristik nanotube bervariasi bergantung pada diameter dan sudut chiral-nya, sudut yang mendefinisikan susunan dari atom-atom karbon sepanjang nanotube. Karakteristik tersebut menentukan dua tipe dari nanotube: metallic dan semkonduktor.

Peneliti menemukan bahwa metallic nanotube 50 kali lebih efisien dibandingkan tipe semikonduktornya ketika digunakan sebagai konduktor transparan pada sel surya organik.

Karena carbon nanotube juga fleksibel, berbeda dengan indium tin oxide, penemuan ini dapat membuka jalan untuk aplikasi luas sel surya. Sebagai contoh, dalam bidang militer memungkinkan untuk penggunaan sel surya fleksibel ke tenda-tenda militer untuk menyediakan energi dari matahari, atau juga ke pakaian, tas, atau barang-barang pakai lainnya.

“Dengan struktur yang fleksibel ini, lebih mudah untuk membayangkan pengintegrasian teknologi surya ke kehidupan sehari-hari, dibandingkan membawa sel surya yang besar, tidak fleksibel,” ujar Hersam.

*Sumber : website Northwestern University dan Science Daily

*Jurnal original : http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/aenm.201190021/abstract;jsessionid=D916F4C124EC88380A8F94C9EFAB7471.d03t03

*Definisi dari istilah-istilah teknis diartikel ini bisa ditemukan di bar “Daftar istilah-istilah”.