Monthly Archives: September 2011

Sharp Luncurkan Pohon Panel Surya di Taman Ismail Marzuki

PT Sharp Electronics Indonesia memperkenalkan terobosan baru, pohon panel surya atau Photovoltaic Tree sebagai sumber energi yang bisa dimanfaatkan untuk hotspot wifi atau mengisi baterai telepon genggam

Untuk pertama Sharp telah memasang pohon panel surya di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat. Photovoltaic Tree merupakan terobosan dari bagian strategi merek untuk memasarkan panel surya dalam bentuk lebih kecil, untuk membantu masyarakat mendapat energi listrik dengan mudah dan ramah lingkungan.

 

Peresmian Pohon Panel Surya di TIM (Gambar : rri.co.id)

“Photovoltaic Tree memungkinkan pengunjung suatu tempat dengan mudah mendapatkan akses sumber energi listrik dan internet secara cuma-cuma dan ramah lingkungan,” ujar Presdir PT Sharp Electronics Indonesia (SEID) Fumihiro Irie, pada peluncuran produk tersebut, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (20/9).

Lebih lanjut Kepala Seksi Photovoltaic dan Lampu LED dari Departemen Pemasaran SEID, Budi Supomo, Photovoltaic Tree menjelaskan bahwa Taman Ismail Marzuki menjadi tempat pertama SEID menempatkan produk terbarunya tersebut, yang terletak di halaman Teater Kecil. Ia berharap proyek perdana Photovoltaic Tree tersebut mampu memberi kontribusi dalam mengurangi polusi CO2.

“Pohon panel surya itu bisa diaplikasi di mall, daerah wisata, dan lain-lain, untuk mendapatkan energi listrik independen dari matahari,” ujarnya.

Budi juga menjelaskan harga pohon panel surya yang terdiri dari dua panel surya berukuran 1.491 mm x 6.71 mm dengan tebal 44 mm, baterai, inverter, dan alat pengontrol arus 20 amper, mampu menghasilkan energi listrik 260 watt/jam. “Harga Photovoltaic Tree yang berada di TIM tersebut mencapai Rp45 juta per unit, karena sentuhan seni dalam bangunannya. Kedepannya kami berencana mengembangkannya dalam bentuk lebih kecil.”.

Penggunaan energi matahari sebagai sumber listrik memang bukan hal baru, di Indonesia sendiri pemain panel surya luamayan banyak. Namun sayang belum ada satu pun yang dapat memberi garansi lama. Melihat celah kebutuhan tersebut, Photovoltaic (PV) Sharp hadir dengan garansi kinerja terlama hingga 25-35 tahun. Sayangnya, di Indonesia, pemanfaatan energi matahari belum banyak diterapkan oleh seluruh lapisan masyarakat. Selain harganya yang masih relatif tinggi, pemanfaatan energi ini minim dukungan pemerintah.

 

*Sumber : areamagz.com, penulis : ferry ardiansyah

Terobosan teknologi quantum dot koloid mampu meningkatkan efisiensi sel surya

Kolaborasi peneliti dari University of Toronto (U of T), King Abdullah University of Science & Technology (KAUST) dan Pennsylvania State University (Penn State) berhasil membuat sel surya dari quantum dot koloid (CQD) yang paling terefisien sampai sekarang. Penemuan ini dilaporkan di edisi terbaru jurnal Nature materials.

Quantum dot adalah semikonduktor berskala nano (1/1000000000 meter) yang mempunyai kemampuan untuk menyerap cahaya dan merubahnya menjadi energi listrik. Karena ukurannya yang kecil, dot-dot tersebut dapat disemprotkan ke permukaan yang fleksibel, termasuk plastik. Kemampuan ini memungkinkan untuk produksi sel surya yang lebih murah dibandingkan dengan produksi sel surya memakai silikon.

“Kami menemukan cara untuk mengecilkan material yang menyelubungi quantum dot sampai keukuran paling terkecil yang bisa terbayang-hanya beberapa lapis atom”, ujar Prof. Ted Sargent, penulis korespondensi dari paper ilmiah ini yang juga ketua Canada Research dalam Nanoteknologi di U of T.

Desain ideal adalah dimana antara quantum-quantum dot berhimpit. Makin lebar jarak antara quantum dot, maka efisiensinya makin rendah. Sampai sekarang, quantum dot diselubungi oleh molekul organik yang memisahkan nanopartikel tersebut dalam skala nanometer. Dalam skala nano,  jarak tersebut relatif cukup jauh untuk transport elektron.

Untuk mengatasi problem ini, peneliti menggunakan ligan inorganik,  yang mengikat permukaan quantum dot dan juga menggunakan ruang yang lebih kecil. Kombinasi antara struktur yang berhimpit dan juga minimalisasi dari hambatan muatan, memungkinkan elektron untuk bergerak dengan cepat dan lancar dalam sistem sel surya, sehingga menghasilkan efisiensi tertinggi sampai sekarang.

Struktur sel surya dalam penelitian ini  yang menggunakan quantum dot PbS (timbal sulida) [Gambar : hak cipta Sargent et.al., Nature Materials)

“Hasil ini membuktikan potensi dari ligan inorganik dalam pembuatan divais”, ujar Professor Dmitri Talapin dari Universitas Chicago, pioner dalam ligan inorganik dan kimia material. “Kimia permukaan yang baru ini menyediakan jalan untuk sel surya quantum dot yang  lebih stabil dan efisien. Ini juga dapat berefek terhadap divais elektronik dan optoelektronik lain yang menggunakan nanokristal koloid. Keuntungan dari penggunaan bahan-bahan inorganik adalah termasuk peningkatan transport elektronik dan juga stabilitas yang lebih lama.

Sebagai hasil dari potensi penemuan ini, lisensi teknologi telah ditandatangani antara U of T dan KAUST, dan juga MaRS Innovations (MI), yang memungkinkan komersialisasi secara global teknologi baru ini.

*Sumber : Universitas Toronto & Science Daily

*Jurnal original : : http://www.nature.com/nmat/journal/vaop/ncurrent/full/nmat3118.html

Istilah-istilah teknis

elektron : partikel subatom yang bermuatan negatif

inorganik : kelas dari senyawa yang tidak mengandung ikatan karbon. Contoh : metal oksida atau sulfida.

koloid: tipe campuran dimana partikel-partikel (5-200 nanometer) dari zat yang satu terdispersi pada zat yang lain tanpa  terjadi pelarutan. Contoh : susu, sampo

ligan  :molekul atau ion yang mengikat atom metal untuk membentuk senyawa kompleks

nanokristal : material yang mempunyai kombinasi antara karakteristik ukuran dalam skala nanometer dan juga struktur  kristal.

quantum dot : kristal semikonduktor berskala nanometer yang mempunyai karakteristik pertengahan antara semikonduktor dan juga molekul. Karakteristik elektroniknya bergantung kepada ukuran dari quantum dot.

semikonduktor : bahan yang mempunyai konduktivitas listrik antara insulator dan konduktor.

Bersama Kembangkan Energi Alternatif

Indonesia memiliki cadangan panas bumi dan energi matahari sangat berlimpah.

Dalam beberapa dekade terakhir terjadi eksploitasi energi berbahan bakar fosil yang berlebihan di seluruh dunia. Ini menyebabkan pasokan sumber energi berbahan dasar fosil kian terbatas. Bahkan dalam puluhan tahun mendatang pasokan energi tersebut akan habis.

Terbatasnya sumber pasokan energi fosil ini membuat beberapa negara di dunia fokus mengembangkan energi alternatif yang lebih terbarukan. Pemerintah Indonesia pun sudah sejak setahun yang lalu mencanangkan pengembangan energi alternatif. Dipilihnya energi terbarukan ini, menurut Penasihat Senior Bidang Energi dan Material Lanjutan Kementrian Riset dan Teknologi, Dr  Agus Rusyana Hoetman, karena potensi Indonesia sangat besar karena sebagai salah satu negara yang memiliki banyak sumber energi terbarukan.  “Ini merupakan aset energi terbarukan dan terbesar yang dimiliki Indonesia,” ujarnya kepada Republika, beberapa waktu lalu..

Sumber energi terbarukan tersebut, lanjut Agus, antara lain angin, matahari, panas bumi, biomassa, dan biodiesel. Indonesia memiliki cadangan  yang berlimpah energi panas bumi dan matahari. Ini karena letaknya berada di wilayah khatulistiwa dan sabuk gunung api.

Melihat potensi tersebut, pemerintah Indonesia bersama para stakeholders termasuk pelaku usaha,  berusaha memaksimalkan penggunaan energi terbarukan tersebut. “Pemerintah bahkan mengapresiasi semua pihak yang berperan serta menggunakan kemampuan energi terbarukan tersebut,” ungkap Agus yang juga mantan kepala Balai Besar Teknologi Energi (B2TE) Badan Pengkajian dan  Penerapan Teknologi  (BPPT) ini.

Peran Swasta

Merespon  ajakan tersebut, sejumlah pabrikan elektronik terpacu membuat dan memasarkan produk yang dapat menghasilkan energi terbarukan. Sebagian produsen telah memilih perangkat tenaga matahari (solar system) sebagai sumber pengembangan produk energi terbarukan, seperti panel surya. Ini adalah perangkat elektronik yang dapat mengubah panas matahari menjadi energi listrik.

Salah satu pabrikan yang mengembangkan energi matahari panel surya adalah Sharp. Kelebihan panel surya yang diproduksi Sharp ini adalah dapat digunakan bagi dunia industri dan rumah tangga. Head Section Photovoltaic Product Marketing PT Sharp Electronics Indonesia (SEID), Budi Yunanto Ari Supomo, penggunaan panel surya ini dapat menjadi solusi mengatasi terbatasnya ketersediaan energi nasional. Konsumen yang telah menggunakan  produk ini antara lain stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dan papan reklame di beberapa kota besar.  Juga rumah tangga di daerah terpencil yang tidak mendapatkan pasokan listrik dari PLN. “Pasar untuk pengadaan listrik dengan tenaga alternatif masih sangat besar. Dan Sharp menjadi yang pertama untuk daerah pedesaan, terutama di daerah terpencil,” ujar Budi.

Pihaknya berkeyakinan dalam beberapa tahun ke depan energi listrik alternatif bukanlah sesuatu yang utopis bagi masyarakat Indonesia. Pihaknya berharap produk teknologi ini akan semakin diterima di masyarakat Indonesia. “Selama ini memang masih terkendala pada harga yang masih mahal. Apabila dilihat  saat ini memang cenderung lebih mahal. Namun bila diukur dari efisiensi dan lama waktu penggunaan yang bisa 25 tahun, tentu ini lebih murah,” terang Budi.

Sementara itu, Panasonic juga mengembangkan produk panel surya sebagai sumber energi alternatif. Awal  tahun ini, Panasonic meluncurkan kontainer panel surya yang dirancang untuk menghasilkan listrik dari energi matahari.Sama dengan cara kerja solar cell dan panel surya lainnya, kontainer yang dilengkapi panel surya ini menyalurkan energi matahari ke dalam sebuah sistem. yang kemudian mengubahnya dari  energi matahari menjadi energi listrik. Selanjutnya energi listrik tersebut disimpan di dalam sebuah baterai yang dapat menghidupkan perangkat elektronik.

Presiden Direktur PT Panasonic Gobel Indonesia, Ichiro Suganuma, mengatakan kelebihan kontainer perangkat solar cell  yang dibuatnya adalah dapat difungsikan seperti mesin genset. Bentuknya yang dikemas dalam sebuah kontainer memudahkannya untuk berpindah tempat, bahkan dapat difungsikan ke berbagai daerah yang membutuhkan pasokan listrik. Antara lain daerah terpencil atau wilayah bencana.

Satu unit kontainer dapat menampung 18 panel surya dan 48 baterai. “Daya listriknya bisa mencapai 6 kWh” kata Ichiro.

Teknologi ini, tuturnya, akan terus dikembangkn Panasonic sehingga mencapai kesempurnaannya. Perangkat kontainer ini telah diuji coba di daerah bencana Sendai, Jepang. Rencananya perangkat ini akan digunakan di pulau-pulau terpencil dan daerah bencana yang kekurangan listrik di Indonesia. c03 ed: anjar fahmiarto

 

*Sumber : Republika Online

Fotovoltaik termasuk diantara industri yang berkembang paling pesat di dunia

Laporan terbaru dari European Commision Joint Research Center (JRC) mengenai status fotovoltaik (PV) dunia menunjukkan bahwa pada tahun 2010 produksi industri fotovoltaik meningkat sampai dua kali lipat  dibanding tahun sebelumnya dan mencapai volume produksi  sebesar 23.5 gigawatt (GW) dari modul fotovoltaik. Sejak 1990, produksi modul fotovoltaik telah meningkat sebanyak 500 kali lipat dari 46 megawatt (MW) menjadi 23.5 GW di 2010, yang membuat fotovoltaik salah satu dari industri yang paling berkembang pesat saat ini.

Fotovoltaik atau sel surya adalah divais yang menghasilkan energi listrik dengan mengkonversi radiasi matahari dan merupakan salah satu alternatif teknologi yang sangat potensial untuk mewujudkan suplai energi bebas emisi karbon. Teknologi sel surya yang umum digunakan saat ini sudah mapan dan mempunyai efisiensi dan energi output yang stabil untuk minimum 25 tahun. Keuntungan tersebut, ditambah dengan minimnya gangguan apabila terjadi kelebihan beban listrik dan juga makin meningkatnya harga listrik dari sumber energi konvensional, menambah daya tarik sistem fotovoltaik.

Total Produksi Fotovoltaik Dunia per-tahun (Gambar : JRC PV Status Report 2011)

Laporan yang berjudul JRC “PV Status Report 2011” ini mengevaluasi hasil survey lebih dari 300 perusahaan di seluruh dunia. Laporan tersebut menunjukkan bahwa dengan total kapasitas yang terinstall sebesar lebih dari 29 GW, Uni-Eropa adalah pemimpin instalasi fotovoltaik dunia. Sampai akhir tahun 2010, instalasi fotovoltaik di Eropa mencakup lebih dari 70% total kapasitas fotovoltaik didunia.

Industri fotovoltaik telah berubah secara drastis beberapa tahun belakangan ini. Cina telah menjadi produsen tertinggi sel dan modul surya dunia, disusul oleh Taiwan, Jerman, dan Jepang. Diantara dua puluh produsen fotovoltaik terbesar didunia pada tahun 2010, hanya empat yang mempunya fasilitas produksi di Eropa, yaitu First Solar (USA, Jerman, Malaysia, Vietnam), Q-Cells (Jerman dan Malaysia), REC (Norwegia dan Singapura) dan Solarworld (Jerman dan USA).

Harga dari modul surya juga telah mengalami penurunan yang drastis sampai hampir 50% dalam tiga tahun belakangan ini. Analisis bisnis memprediksikan bahwa investasi dalam teknologi fotovoltaik dapat meningkat dua kali lipat dari 35-40  miliar Euro (sekitar 420 triliun rupiah) di 2010 menjadi lebih dari 70 miliar euro (sekitar 840 triliun rupiah) di 2015, disamping prediksi bahwa harga untuk konsumen akan terus menurun.

 

*Sumber : European Commision Joint Research Center

Rahasia keberhasilan Jepang dalam pengaplikasian energi surya -sejarah kebijakan pemerintah- (part 1)

Jepang adalah salah satu negara yang terkenal sangat giat dalam menggalakan pengaplikasian energi terbarukan, termasuk energi surya. Pencapaian Jepang sehingga menjadi salah satu negara eksportir dan juga pemakai fotovoltaik atau sel surya terbesar didunia tidak lepas dari kebijakan pemerintah Jepang yang agresif dan dinamis sesuai dengan perkembangan pasar ataupun kondisi global. Tulisan ini memaparkan sejarah kebijakan pemerintah Jepang dalam pengaplikasian energi surya hingga saat ini  yang saya pelajari dari jurnal-jurnal ilmiah, website, dan juga kondisi real disini karena keterlibatan saya dalam riset fotovoltaik di Jepang. 

“Learn from the best to be the best”, kalimat bijak tersebut sering didengungkan agar kita belajar menjadi lebih baik  dan menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Hal ini tidak terkecuali dalam kebijakan-kebijakan pemerintah, kebijakan pemerintah yang tepat dengan belajar dari pengalaman negara-negara lain, kurang atau lebih akan menimbulkan efek positif yang serupa bagi negara sendiri. Dalam industri fotovoltaik, Jepang adalah salah satu pemain utama. Dalam beberapa tahun belakang ini Jepang selalu menjadi nomor satu dalam hal jumlah fotovoltaik yang terpasang, sebelum disalip oleh Jerman pada tahun 2004. Sampai tahun 2009, Jepang tercatat sebagai negara ketiga terbesar berdasarkan jumlah total fotovoltaik terpasang, yaitu sebesar 2.633 MW, dibelakang Jerman dengan 9.779 MW dan Spanyol dengan 3.386 MW dari total fotovoltaik terpasang di seluruh dunia sebesar 22.878 MW.

Grafik total fotovoltaik yang terpasang diseluruh dunia pertahun (gambar : European Photovoltaic Industry Association)

Keberhasilan implementasi fotovoltaik secara massal di Jepang selalu menjadi bahan rujukan untuk implementasi kebijakan fotovoltaik di berbagai negara. Jepang memiliki kebijakan-kebijakan mengenai energi surya yang agresif, sesuai dengan dinamika pasar dan juga kondisi global, yang menjadi kunci juga bagi Jerman dan Spanyol dalam pesatnya perkembangan fotovoltaik di negara tersebut. Tidak berlebihan juga apabila Jepang disebut “know-how” dalam industri fotovoltaik, baik dalam hal teknologi terbaru maupun implementasinya untuk massal.

Awal mula pengembangan fotovoltaik di Jepang (Sunshine Project[1974-1992])

 Jepang adalah negara yang sangat bergantung kepada impor untuk mensuplai kebutuhan energi di dalam negeri. Pada tahun 2010, sekitar 96% energy yang disuplai di Jepang adalah berasal dari impor. Dari jumlah ini, sekitar 50% berasal dari minyak bumi. Bahkan pada tahun 1973, jumlah prosentase ketergantungan terhadap minyak bumi ini jauh lebih besar, yaitu 77%. Walaupun dengan sejumlah keterbatasan dalam suplai energy dan juga geografisnya yang tidak diberkati dengan sumber energy fosil yang melimpah, ekonomi Jepang dapat mencapai perkembangan yang stabil pada tahun 1960-an dan 70-an berkat usaha fokus dalam pengembangan teknologi-teknologi terbaru diberbagai bidang.

Namun, terjadinya krisis minyak pertama pada tahun yang sama akibat perang di timur tengah berdampak sangat besar terhadap perkembangan ekonomi Jepang yang pada saat itu merupakan negara yang paling tumbuh pesat di dunia secara ekonomi. Situasi ini mendorong pemerintah Jepang untuk mulai mengurangi ketergantungannya terhadap minyak bumi dengan mendorong pemakaian gas alam dan batubara, mengembangkan energy nuklir dan juga energi-energi terbarukan, salah satunya energi surya.

Segera setelah terkena dampak akibat krisis minyak pertama, pada tahun berikutnya, 1974, pemerintah Jepang menggulirkan proyek untuk menginisiasi penggunaan energy baru sebagai energy alternatif, yang dinamakan proyek “Sunshine”. Proyek ini juga didorong oleh visi MITI (Ministry of International Trade and Industry) Jepang untuk 1970s yang dicetuskan pada tahun 1971 untuk membentuk struktur industri yang berbasis intensif-keilmuan yang mengurangi ketergantungan terhadap energy dan material sehinga mengurangi dampak terhadap lingkungan, namun lebih berfokus kepada teknologi. Visi ini terbentuk akibat dari kerusakan lingkungan yang serius di area semenanjung Pasifik Jepang akibat perkembangan yang sangat pesat dari industri yang berbasis alat berat dan bahan kimia. Untuk mengatasi hal ini, MITI mengaplikasikan kebijakan pemerintah dan juga rancangan R&D untuk mengembalikan ekosistem menjadi lebih baik dengan mengembangkan sistem energi yang ramah lingkungan, yang merupakan ide awal dari proyek Sunshine.

Salah satu kota di Jepang yang mengaplikasikan fotovoltaik di atap-atap rumah yang merupakan salah satu target proyek “Sunshine”

Proyek Sunshine ini berfokus kepada pengembangan “clean energy” yang mencakup (i) Energi terbarukan seperti energi surya, panas bumi, angin, laut, dan biomass, (ii) Teknologi batu bara bersih yang berfokus kepada liquefaction batu bara dan gasifikasi batu bara, dan (iii) energi hidrogen. Untuk pengembangan energy surya, lebih berfokus kepada  penerapan fotovoltaik (PV) yang terdistribusi, terkoneksi jaringan, dan terinstalasi di atap rumah-rumah. Jepang adalah negara yang memiliki banyak pegunungan sehingga area yang terpakai menjadi terbatas. Dengan alasan ini, sistem fotovoltaik (PV) yang terdistribusi di berbagai area merupakan alternatif yang terbaik. Kota-kota yang didiami penduduk juga hampir seluruhnya terkoneksi jaringan listrik, sehingga apabila sistem PV membutuhkan backup dari sumber energy utama, koneksi dengan jaringan listrik utama adalah salah satu solusinya. Harga tanah di Jepang juga sangat tinggi dikarenakan keterbatasan tanah yang flat untuk didiami atau diberdayakan, kondisi seperti ini juga menjadi hambatan untuk penggunaan sistem array PV yang menggunakan area luas. Oleh karena itu, penggunaan PV di atap-atap rumah untuk meminimumkan penggunaan area menjadi fokus utama pemerintah Jepang.

 Fokus Pengembangan fotovoltaik (PV) di Jepang dalam proyek Sunshine

Untuk mendukung promosi dan juga R&D dari energy terbarukan, pada tahun 1980 dibentuk New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO) yang merupakan badan semi-pemerintah dibawah Ministry of Economy and Industry (METI), tepat setahun setelah terjadinya krisis energy dunia pada tahun 1979. Seperti ditunjukkan pada gambar dibawah, untuk mendukung misi NEDO tersebut, peran dari NEDO secara umum terbagi menjadi dua yaitu,

1. Koordinasi R&D di bidang energy terbarukan

NEDO mengkordinasikan aktivitas R&D berkolaborasi dengan sektor industri, akademisi, dan pemerintahan untuk mencapai hasil yang maksimal.

2.Manajemen Professional dari aktivitas R&D

NEDO juga berfungsi sebagai organisasi professional manajemen proyek-proyek yang lingkup fungsinya termasuk menemukan teknologi terbaru, promosi proyek skala menengah atau jangka panjang, dan juga support untuk aplikasi praktikal.

 

Peran berbagai sektor termasuk NEDO dalam manajemen riset maupun pengaplikasian fotovoltaik (Gambar: hak cipta Hideki Fukuda, NEDO)

New Sunshine Program (1993-2000)

Sejak digulirkannya proyek Sunshine pada tahun 1974, beberapa pencapaian yang signifikan telah berhasil dicapai. Sebagai contoh produksi domestik sel surya meningkat dari 1,024 MW/tahun pada tahun 1981 menjadi 20 MW/tahun pada tahun 1992, dan juga harga produksi sel surya turun dari sebelumnya 4000 yen/Wp pada tahun 1981 menjadi 600 yen/Wp pada tahun 1991. Hal ini tidak lepas dari kekonsistenan pemerintah Jepang dalam menjalankan R&D untuk pengembangan teknologi sel surya yang melibatkan sektor industri, pemerintah, dan akademisi, dan juga promosi pengaplikasian teknologi surya untuk skala massal.

Disamping terobosan-terobosan baru dalam hal teknologi energi terbarukan, isu lingkungan seperti pemanasan global juga menjadi tantangan yang harus dihadapi untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan ditengah kondisi peningkatan jumlah penduduk global dan juga semakin berkurangnya cadangan energy dari fossil. Pada tahun 1993, pemerintah Jepang melalui MITI membentuk “New Sunshine Program” untuk pengembangan teknologi energy terbarukan dan teknologi lingkungan. Program ini merupakan gabungan  dan kelanjutan dari proyek Sunshine yang dimulai pada tahun 1974, proyek Moonlight yang dimulai pada tahun 1978 untuk pengembangan teknologi yang efisien dan hemat energi, dan proyek R&D untuk teknologi lingkungan yang dimulai tahun 1989 untuk mengurangi polusi lingkungan.

Bersambung ke part 2

Pentingnya Produksi Panel Surya Domestik

Baru-baru ini, perusahaan pabrikan panel surya di Amerika Serikat menyatakan kebangkrutan dan merumahkan 1100 karyawan setelah pinjaman yang disetujui Presidennya tidak mencukupi. Sementara itu, Jerman sebagai negara eksportir panel surya ke Afrika, baru-baru ini mengeluhkan betapa ekspor panel surya kini sangat berkurang dengan masuknya produk panel surya dari China yang amat sangat murah.

Pengamat energi di Amerika menyoroti minimnya dukungan pembiayaan dan subsidi pemerintah terhadap pabrikan, dibanding misalnya dukungan pemerintah China yang meliputi pinjaman berkali-kali lipat. Pemerintah China dalam program energi terbarukannya, mentargetkan untuk mencapai paritas grid listrik dari tenaga surya pada 2015 dengan menetapkan Feed in Tariff sebesar 1 Yuan / KwH atau US $ 0,15 / KwH. Dalam mendukung rencana induk ini, pemerintah China menggelontorkan dukungan kapital yang sangat besar bagi pabrikan-pabrikan domestik panel surya.

Sebenarnya seberapa pentingkah pengadaan panel surya dipasok dari pabrikan domestik?. Selain karena alasan lapangan pekerjaan dan harga Rupiah per KwH, perlu diingat bahwa energi surya adalah bersifat terbarukan. Sifatnya yang terbarukan menuntut pemeliharaan sarana yang teratur, sehingga skema keberlanjutan sangat relevan. Keberlanjutan dalam artian penguasaan teknologi dan produksi komponen-komponennya sebaiknya siap tersedia didalam negeri dan tidak tergantung impor.

Teknologi panel surya sendiri beragam. Pemerintah China yang telah menguasai teknologi crystalline menggenjot pemodalan untuk mempabrikasi teknologi ini secara besar-besaran, sementara pemerintah Amerika Serikat lebih pada mendistribusikan sebagian dana untuk lembaga riset agar menemukan teknologi terbaru panel surya. Hal ini mendapat kecaman dari pengamat energinya, yang mengkritisi rendahnya dukungan permodalan pemerintah Amerika bagi industri pabrikasi yang sudah ada.

(Siti Mariani)

*Sumber : http://www.den.go.id/index.php/news/readNews/198

Peneliti dari Berkeley Lab mengembangkan metoda murah untuk membuat Sel Surya Nanowire

Fotovoltaik atau sel surya adalah salah satu teknologi terbaik untuk menyediakan sumber energi yang bersih dan tidak habis untuk menyokong peradaban kita. Namun, agar mimpi ini bisa terwujud, sel surya harus dibuat dari bahan yang tidak mahal dengan proses pembuatan yang murah, dan juga hemat energi, dan harus  bisa secara efisien dan dengan biaya yang kompetitif untuk mengkonversi sinar matahari menjadi listrik. Tim peneliti dari U.S. Departement of Energy (DOE) Lawrence Berkeley National Laboratory (Berkeley Lab) mendemonstrasikan dua dari tiga kebutuhan tersebut dengan awal yang menjanjikan untuk kebutuhan yang ketiga akan efisiensi sel surya yang tinggi.

Peidong Yang, kimiawan dari Divisi Material Science Berkeley Lab, memimpin pengembangan dari teknik fabrikasi berbasis larutan untuk membuat sel surya nanowire (material satu dimensi yang lebarnya hanya seperseribu dari rambut manusia namun panjangnya bisa mencapai skala milimeter) core/shell (inti/kulit) dengan menggunakan semikonduktor kadmium sulfida (CdS) untuk bagian inti dan tembaga sulfida (Cu2S) sebagai kulit.  Metoda yang relatif tidak mahal dan juga simpel untuk membuat sel surya nanowire ini melejitkan tegangan open-circuit (Voc) dan fill factor (FF) melebihi sel surya dengan struktur planar (membentuk lapis-lapis) untuk material yang sama. Nilai tegangan open-circuit dan fill factor ini menentukan energi maksimum yang bisa diproduksi sebuah sel surya. Dan juga, struktur nanowire ini menghasilkan efisiensi energi sebesar 5.4%, sebanding dengan sel surya planar.

Skema pembuatan sel surya core/shell nanowire dimulai dari kiri dengan nanowire CdS (hijau) yang dicelupkan ke CuCl dimana terjadi reaksi cation exchange yang membentak lapisan Cu2S shell (coklat), kemudian kontak metal dideposisikan di CdS dan Cu2S. (Gambar hak cipta Yang et.al, Nature nanotechnology)

“Ini pertama kalinya teknik kimia cation-exchange berbasis larutan digunakan untuk memproduksi single-kristal berkualitas tinggi dari kadmium sulfida/tembaga sulfida core/shell nanowire“, ungkap Yang. “Pencapaian ini, bersamaan dengan penigkatan absorpsi cahaya yang telah didemonstrasikan sebelumnya dalam susunan/array nanowire melalui penangkapan cahaya, mengindikasikan bahwa nanowire core/shell sangat menjanjikan untuk teknologi sel surya masa depan.”

Berkeley Lab chemist Peidong Yang is a leading authority on semiconductor nanowires. (Photo by Roy Kaltschmidt, Berkely Lab Public Affairs)Peidong Yang adalah salah satu expert dalam semikonduktor nanowire. (photo : Berkeley lab)

Yang, yang juga berafiliasi dan bekerjasama dengan University of California (UC) Berkeley, adalah corresponding author (penulis yang umumnya bisa dihubungi untuk surat menyurat) dari paper ilmiah yang telah terbit di jurnal Nature Nanotechnology. Paper nya berjudul “Solution-processed core-shell nanowires for efficienct photovoltaic cells”.

Tipikal sel surya sekarang terbuat dari single-crystal (kristal tunggal) wafer silikon dengan kemurnian yang sangat tinggi dan membutuhkan ketebalan kira-kira 100 mikrometer dari material yang sangat mahal ini agar menyerap cukup cahaya matahari. Ditambah lagi, proses pemurnian kristal yang diperlukan untuk fabrikasi bahkan untuk tipe sel surya silikon yang paling simpel sekalipun sangat kompleks, membutuhkan energi yang tinggi dan juga mahal.

Alternatif yang menjanjikan adalah semikonduktor nanowires. Sel surya yang dibuat dari bahan nanowire mempunyai beberapa keuntungan dibanding struktur sel surya konvensional, termasuk separasi  dan penangkapan muatan listrik yang lebih baik dikarenakan ukurannya yang berskala nano, ditambah dapat dibuat dari bahan-bahan yang melimpah dialam dibandingkan dengan silikon yang produksinya relatif sulit. Namun sampai sekarang, efisiensi sel surya dengan struktur nanowire yang lebih rendah masih menjadi hambatan walaupun dengan keuntungan-keuntungan diatas.

“Sel surya nanowire sebelumnya mempunyai fill factor dan tegangan open circuit jauh dibawah tipe planar-nya”, ungkap Yang. “Kemungkinan alasan akan performansi yang rendah ini termasuk rekombinasi permukaan (surface recombination) dan kontrol yang rendah terhadap kualitas dari junction p-n ketika proses doping pada temperatur tinggi digunakan.”

Bagian inti dari sel surya adalah dua lapisan material yang terpisah, yang satu memiliki kelebihan elektron yang berfungsi sebagai kutub negatif, dan yang satunya lagi kelebihan hole (muatan positif) yang berfungsi sebagai kutub negatif. Ketika foton dari cahaya matahari diserap, energinya digunakan untuk membentuk pasangan elektron-hole, yang kemudian dipisahkan pada junction p-n (permukaan antara dua lapisan tersebut) dan yang kemudian disalurkan sebagai listrik.

This scanning electron microscopy image shows three solar cells in series on a single nanowire with the core–shell regions marked by brown lines. (Image courtesy of Yang, et. al)
Gambar scanning electron microscopy (SEM) ini menunjukkan tiga sel surya yang dikoneksikan secara seri oleh nanowire dengan struktur core-shell ditunjukkan dengan bagan segi empat (Gambar hak cipta Yang et.al., Nature Nanotechnology)

Sekitar setahun lalu, dengan bekerja pada material silikon, Yang dan anggota dari grup risetnya mengembangkan metoda yang relatif tidak mahal untuk mengganti struktur planar p-n junction pada sel surya konvensional dengan struktur radial p-n junction, yang mana lapisan silikon tipe-n membentuk struktur kulit (shell) disekeliling nanowire silikon tipe-p sebagai inti. Struktur geometri ini efektif membuat setiap nanowire menjadi sel surya dan  mampu meningkatkan kemampuan penangkapan cahaya dari fotovoltaik berbasis silikon ini.

Sekarang mereka mengaplikasikan strategi tersebut untuk memfabrikasi nanowire core/shell menggunakan kadmium sulfida dan tembaga sulfida, namun kali ini menggunakan kimia larutan. Struktur nanowire core/shell ini dibuat menggunakan reaksi cation-exchange yang originalnya dikembangkan oleh kimiawan Paul Alivisatos dan grup risetnya untuk membuat quantum dot dan nanorod. Alivisatos sekarang adalah direktur dari  Berkeley lab, dan juga Professor Nanoteknologi di UC Berkeley Larry dan Diane Bock.

“Awalnya nanowire kadmium sulfida disintesa dengan physical vapor transport menggunakan mekanisme vapor-liquid-solid (VLS) tidak dengan wet-chemistry (berbasis larutan), yang memberikan kualitas material lebih baik dan nanowire yang lebih panjang, namun tentu saja dapat dibuat juga degnan metoda larutan” ujar Yang. “Single-kristal nanowire kadmium sulfida mempunyai diameter antara 100 dan 400 nanometer dan  panjang sampai 50 milimeter.”

Nanowire kadmium sulfida kemudian dicelupkan kedalam larutan tembaga klorida (copper chloride) pada temperatur 50 derajat celcius dan didiamkan selama 5 sampai 10 detik. Reaksi cation-exchange mengkonversi permukaan lapisan kadmium sulfida kedalam struktur kulit tembaga sulfida.

“Reaksi cation exchange yang menggunakan larutan ini relatif mudah, metoda murah untuk menghasilkan heteroepitaxial (dua lapisan monokristal) nanomaterial kualitas tinggi.”, ujar Yang. “Selain itu, metoda ini juga terhindar dari kesulitan doping pada temperatur tinggi dan deposisi untuk metoda vapor phase, yang berarti biaya fabrikasi yang lebih murah dan tingkat reproduktifitas yang lebih baik. Yang kita butuhkan hanya gelas dan labu eksperimen untuk proses berbasis larutan ini. Tidak ada fabrikasi yang berbiaya tinggi seperti pada metoda chemical vapor deposition dan molecular beam epitaxy, teknik-teknik yang umumnya digunakan sekarang untuk memfabrikasi semikonduktor nanowire.”

Yang dan kolaboratornya yakin bahwa mereka dapat meningkatkan efisiensi konversi energi dari sel surya nanowire ini dengan meningkatkan jumlah material tembaga sulfida. Agar teknologi mereka dapat tersedia secara komersil, mereka harus mendapatkan efisiensi energi paling tidak sepuluh persen.

*Sumber : http://newscenter.lbl.gov/news-releases/2011/08/31/down-to-the-wire-berkeley-lab-researchers-develop-inexpensive-technique-for-making-high-quality-nanowire-solar-cells/

*Jurnal original : http://www.nature.com/nnano/journal/vaop/ncurrent/full/nnano.2011.139.html

Istilah-istilah Teknis

cation / kation : ion yang mempunyai muatan listrik positif

cation exchange : proses dimana kation yang ada dalam larutan bertukar dengan kation yang ada dalam material lain

chemical vapor deposition : metoda untuk membentuk lapisan tipis semikonduktor dimana material atau bahan sumber dalam fasa gas (yang mengandung elemen yang ingin dibentuk) bereaksi dengan permukaan untuk membentuk lapisan material yang diinginkan.

elektron :partikel subatom yang bermuatan negatif

fill factor : salah satu karakteristik performansi sel surya yang menunjukkan rasio  daya aktual maksimal yang dihasilkan berbanding daya maksimal secara teoritis.

fotovoltaik: divais yang mampu mengkonversi cahaya matahari menjadi listrik

hole : partikel subatom bermuatan positif

molecular beam epitaxy : teknik untuk penumbuhan epitaxy atau material dengan struktur kristal yang sama diatas yang lain, dan biasanya menggunakan kondisi ultra high vacuum.

nanometer :  1/1000000000 meter

nanorod :salah satu struktur nano dengan dimensi 1-100 nm dan mempunyai rasio antara panjang berbanding lebar sebesar 3-5 (berbentuk batang).

nanowire : salah satu struktur nano dengan diameter dalam skala nanometer, dan biasanya mempunyai rasio antar panjang berbanding lebar sebesar 1000 atau lebih (berbentuk seperti kawat)

physical vapor transport : metoda pelapisan material menggunakan kondensasi fasa uap dari material sumber diatas permukaan yang akan dilapisi.

p-n junction : juntion atau pertemuan permukaan antara semikonduktor tipe-p (berlebih muatan positif) dan semikonduktor tipe-n (berlebih muatan negatif), biasanya digunakan di divais semikonduktor.

quantum dot : kristal semikonduktor berskala nanometer yang mempunyai karakteristik pertengahan antara semikonduktor dan juga molekul. Karakteristik elektroniknya bergantung kepada ukuran dari quantum dot.

rekombinasi/recombination : dalam konteks sel surya, yaitu proses kembalinya elektron ke keadaan energi awal setelah sebelumnya naik ke tingkat energi  yang lebih tinggi.

scanning electron microscopy : salah satu jenis mikroskop untuk mengamati bentuk morfologi atau struktur dari suatu material sampai skala mikrometer.

semikonduktor :bahan yang mempunyai konduktivitas listrik antara insulator dan konduktor

tegangan open-circuit : tegangan maksimum yang mampu dihasilkan dalam sistem sel surya

vapor-liquid-solid : mekanisme penumbuhan struktur satu-dimensi,seperti nanowire, dengan penggunaan material fasa liquid sebagai katalis untuk mempercepat adsorbsi material sumber dengan fasa uap ke permukaan fasa liquid-solid.

wet-chemistry : metoda produksi menggunakan larutan.

Jerman Siapkan Ratusan Triliun untuk Energi Terbarukan

Pemerintah Jerman menyiapkan kebijakan untuk mengganti Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dengan energi terbarukan ramah lingkungan. Rencana ini merupakan  bentuk respons atas ledakan PLTN Fukushima Daiichi Jepang pascagempa dan tsunami dahsyat pada Maret 2011 lalu.

“Kebijakan ini bukan didasari kondisi keselamatan PLTN, tetapi karena pemahaman tentang keselamatan PLTN yang berubah,” ungkap Sekretaris Urusan Parlemen, Kementerian Lingkungan Hidup, Perlindungan Sumber Daya Alam dan Keselamatan Nuklir Jerman, Ursula Heinen-Esser di Berlin Juli lalu.

Nantinya, energi terbarukan yang paling banyak digunakan adalah angin, sedangkan energi matahari masih dalam pengembangan besar-besaran.

Energi terbarukan juga dipilih karena sifatnya menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam skala kecil. Hal ini sejalan dengan target Jerman dalam menurunkan emisi GRK (sesuai Protokol Kyoto) pada tahun 2020 yaitu 40 persen dan tahun 2050 yaitu 80-95 persen.

Kebijakan lain selain mengganti energi nuklir adalah meningkatkan efisiensi penggunaan energi fosil. Langkah yang dilakukan adalah menghemat penggunaan energi dengan memodernisasi gedung-gedung. Sementara itu, dalam bidang transportasi, langkah yang akan dilakukan adalah menargetkan 6 juta mobil elektrik di jalan-jalan Jerman pada tahun 2030.

Deputi Kepala Divisi Tenaga Air, Energi Angin, dan Integrasi Jaringan Energi Terbarukan, Kementerian Lingkungan Hidup, Perlindungan Sumber Daya Alam, dan Keselamatan Nuklir, Kai Schlegelmich mengatakan, dalam pengembangan energi nuklir, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) menjadi prioritas utama. Angin tersedia sepanjang tahun dan biayanya lebih murah ketimbang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

“Penggunaan energi terbarukan akan bertambah dari tahun ke tahun. Pada 2010, peran energi ini dalam konsumsi energi nasional, baik untuk listrik, pemanas, industri, maupun transportasi naik jadi 11 persen,” katanya. Dirinya menambahkan penggunaan energi terbarukan dapat meningkatkan peranan konsumsi energi nasional hingga 18 persen pada 2020.

Untuk mewujudkan kebijakan penggantian ini, investasi sekitar 26,6 miliar euro (sekitar Rp324,5 triliun) sudah dialokasikan untuk penelitian energi terbarukan. Sebesar 73 persen dana tersebut digunakan untuk pengembangan dan peningkatan efisiensi dari panel surya atau sel fotovoltaik.

Tak hanya itu, penelitian juga dilakukan untuk modernisasi pembangkit berbahan bakar fosil yang ada sehingga mampu bekerja fleksibel, efisien, dan emisinya lebih rendah ketimbang pembangkit energi sekarang.

Untuk mendukung kebijakan penggantian energi nuklir ini, 7 PLTN yang beroperasi sejak sebelum 1980 dihentikan sementara, dan 1 PLTN yang dibangun tahun 1980-an dalam posisi siaga-dimatikan, 6 PLTN akan dimatikan pada 2012, dan 3 PLTN lainnya akan dimatikan pada 2022.

*Sumber : National Geographic Indonesia  http://nationalgeographic.co.id/lihat/berita/1936/jerman-siapkan-ratusan-triliun-untuk-energi-terbarukan

Asia tenggara merangkul energi surya (part 2)

Keselamatan yang utama

Keselamatan dalam pembangkit energi sangatlah penting, dan dengan regulasi yang ketat dan instalasi yang profesional, pembangkit tenaga surya hampir bebas resiko, tidak seperti bahan bakar fosil atau pembangkit energi nuklir. Sejarah terkini juga menunjukan bahwa fasilitas pembangkit energi sangat rawan terhadap bencana.

Salah satu investasi di negara Thailand yang sangat berpikir maju dalam pembangkit tenaga surya adalah proyek taman surya (Solar park) Sai Sena Solarta 3MW di Ayutthaya, 70 km utara Bangkok. Taman surya ini memproduksi cukup energi untuk 1.530 rumah dengan potensi produksi sampai 4.471 megawatt-jam energi bersih tiap tahun, disamping menghemat 1.970 ton emisi karbon per tahunnya.

Solar Park di Ayyuthaya, Thailand (photo:Conergy)

Proyek Tenaga Surya Thailand

Proyek tenaga surya ini, yang merupakan rumah dari 40.000 modul surya, menunjukkan masa depan dari pembangkit tenaga surya di Thailand dan menjadi model ikubator untuk potensi investasi diseluruh area.

Taman ini diprediksi akan menghasilkan investasi kembali sebanyak dua-digit dalam periode 25 tahun, dan telah mengungguli produksi energi yang diharapkan sampai sekarang. Daya yang dihasilkan dari taman tersebut, yang merupakan milik swasta, disalurkan ke jaringan listrik utama dari Thailand Provincial Electricity Authority (PEA).

Solarta sekarang sedang mengembangkan lebih banyak taman energi surya di Thailand. Taman kedua dengan daya 12.4 MW sekarang sedang dalam pembangunan di provinsi Nakhon Pathom, yang akan menjadi empat kali lebih besar daripada taman pertama.

Biaya Sebenarnya

Salah satu aspek yang paling penting dengan peluncuran proyek taman surya ini adalah bukti bahwa investor di pasar pembangkit energi, yang dipimpin oleh wiraswasta dan perusahaan publik, mulai mengerti bahwa biaya sebenarnya untuk untuk membangkitkan daya harus dihitung berdasarkan pada biaya yang dikeluarkan per unit listrik. Ini dihitung dalam kWh (kilowatt-hour, bukan dalam biaya per unit kapasitas yang terinstall yang dihitung dalam Wp (watt-peak).

Kualitas dari komponen panel surya, inverter, dan sistem instalasi juga merupakan kunci dari investasi kembali untuk jangka panjang.  Hal tersebut, dibarengi dengan pemilihan infrastruktur instalasi yang terbaik dan perhatian yang ketat terhadap desain pabrik dan juga engineeringnya, akan menentukan efektivitas dari kemampuan pembangkitan daya. Simpelnya, panel surya yang lebih murah dan infrastruktur dibawah standar akan menghasilkan penghematan biaya jangka pendek, namun dalam jangka waktu menengah sampai panjang, kualita dari panel, inverter dan infrastruktur penunjang lainnya akan mempengaruhi kualitas dan konsistensi dari kembalinya investasi.

Faktor lainnnya yang harus dipertimbangkan ketika berinvestasi jangka panjang dalam pembangkit tenaga surya adalah resiko. Sangatlah penting untuk mengelola resiko untuk melindungi investasi, dan ini dapat dilakukan dengan mengambil asuransi yang mencakup kerusakan akibat banjir, topan, dll, dan juga gangguan terhadap bisnis akibat faktor sosial ataupun intensitas matahari rendah yang berkepanjangan, yang berpengaruh terhadap output dan juga profit dari bisnis.

Potensi hambatan

Potensi pertumbuhan energi surya dapat direalisasikan secara maksimal hanya jika langkah-langkah penting berkaitan dengan infrastruktur pembangkit energi yang lebih luas mulai dilakukan. Pengembangan ke fotovoltaik dan energi terbarukan akan membutuhkan perubahan infrastruktur, karena hampir semua jaringan energi di Asia Tenggara didesain terutama untuk sistem energi terpusat. Penambahan dari penyaluran melalui energi surya ini harus diakomodasi dan diintegrasikan ke jaringan listrik.

Tantangan yang juga dihadapi oleh industri surya adalah pandangan akan mahalnya energi surya.  Untuk alasan ini, pendorong utama untuk turunnya biaya adalah usaha yang permanen. Industri telah menurunkan biaya sampai antara 15 dan 2- persen per tahun rata-rata dalam 10 tahun ini.

Grid parity (Kesamaan dengan jaringan listrik)

R&D yang dilakukan industri juga bertujuan untuk meningkatkan efisiensi modul dan lebih mempercepat penurunan harga. Dengan semua usaha ini, grid parity- poin dimana listrik dari pembangkit tenaga surya mempunyai harga yang sama dengan tarif listrik perumahan- dapat dicapai dalam beberapa tahun kedepan, terutama di pasar Asia dengan harga listrik yang relatif tinggi.

Lebih jauh lagi, perluasan ke energi terbarukan dapat meminimalkan efek negara terhadap fluktuasi harga minyak dunia dan juga terhadap kelangkaan energi secara umum. Uang harus diinvestasikan untuk membuat pabrik energi terbarukan, tetapi keuntungannya lebih besar dibanding uang yang dikeluarkan dalam jangka panjang.

Masa Depan adalah energi hijau

Walaupun negara-negara di Asia Tenggara masih akan tergantung terhadap bahan bakar fosil untuk memenuhi mayoritas kebutuhan energinya dalam jangka pendek ini, energi hijau dari pembangkit energi terbarukan telah semakin meningkat kepentingannya dalam perencanaan untuk kebutuhan masa depan dan juga pembangunan

Investor dan konsumen semakin menyadari kebutuhan untuk menjaga lingkungan dan bertahap berpindah dari kebergantungan bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik. Artinya, entrepreneur mempunyai ksempatan untuk menawarkan investor pilihan untuk lingkungan yang berbasis energi hijau, baik itu dalam bisnins perdagangan, indsutri perkebunan maupun perumahan.

*Sumber : http://www.siew.sg/energy-perspectives/alternative-energies/southeast-asia-embraces-solar-power